Nama Anggota
:
1. Anita Puspita Sari
2. Devi Trasisty
3. Elsha Agustria
4. Gita Chairrida
1EA21
TUGAS RESENSI
NOVEL
“SITI NURBAYA(
KASIH TAK SAMPAI)”
Identitas Buku
v Nama Pengarang : Marah Rusli. Seorang Minang yang berpendidikan Belanda dalam
ilmu kedokteran hewan
v Judul Buku Siti Nurbaya.
(Kasih Tak Sampai)
v Penerbit : Balai
Pustaka.
v Cetakan
:44 tahun 2008
v Tempat Terbit : Jakarta.
v Tahun Terbit : 1992.
v
v Kategori : Fiksi, Novel
Sinopsis
Ibunya meninggal saat Siti
Nurbaya masih kanak-kanak, Maka bisa dikatakan itulah titik awal penderitaan
hidupnya. Sejak saat itu hingga dewasa dan mengerti cinta ia hanya hidup
bersama Baginda Sulaiman ayah yang sangat disayanginya. Ayahnya adalah seoranga
pedagang yang terkemuka di Kota Padang. Sebagian modal usahanya merupakan uang
pinjaman dari seorang rentenir bernama Datuk Maringgi.
Pada mulanya usaha
pedagangan baginda Sulaiman mendapat kemajuan pesat, hal itu tidak dikehendaki
leh rentenir seperti Datuk Maringgi. Maka untuk melampiaskan keserakahannya
Datuk Maringgi menyuruh kaki tangannya membakar semua kios milik Baginda
Sulaiman dengan demikian hancurlah usaha Baginda Sulaiman. Ia jatuh miskin dan
tak sanggup membayar utang-utangnya pada Datuk Maringgih dan inilah kesempatan
yang dinanti-nantikannya Datuk Maringgi mendesak Baginda Sulaiman yang sudah
tak berdaya agar melunasi semua hutang-hutangnya boleh hutang tersebut dianggap
lunas asalkan Baginda Sulaiman mau menyerahkan Siti Nurbaya putrinya kepada
Datuk Maringgi.
Menghadapi kenyataan seperti
itu Baginda Sulaiman yang memang sudah tak sanggup lagi membayar
hutang-hutangnya tidak menemukan pilihan lain selain yang ditawarkan oleh Datuk
Maringgi.
Siti Nurbaya menangis
menghadapi kenyataan bahwa dirinya yang cantik dan muda berlia harus menikah
dengan Datuk Maringgi yang sudah tua bangka dan berkulit kasar seperti katak.
Lebih sedih lagi ketikaIa teringat Samsul Bahri kekasihnya yang sedang sekolah
di Stovia Jakarta. Sungguh berat memang namun demi keselamatan dan kebahagiaan
Ayahandanya ia mau mengorbankan kehormatan dirinya dengan Datuk Maringgi.
Samsul Bahri yang ada di
Jakarta mengetahui peristiwa yang terjadi di desanya, Terlebih karena Siti
Nurbaya mengirimkan surat yang menceritakan tentang nasib yang dialami
keluarganya. Pada suatu hari ketika Samsul Bahri dalam liburan kembali ke
Padang, Ia dapat bertemu empat mata dengan Siti Nurbaya yang telah resmi
menjadi istri Datuk Maringgi. Pertemuan itu diketahui oleh Datuk Maringgi
sehingga terjadi keributan. Teriakan Siti Nurbaya terdengar oleh ayahnya yang
tengah terbaring karena sakit keras. Baginda Sulaiman berusaha bangkit tetapi
akhirnya jatuh tersungkur dan menghembuskan nafas terakhir.
Mendengar itu Ayah Samsul Bahri yaitu Sultan
Mahmud Syah yang kebetulan menjadi penghulu Kota Padang, malu atas perbuatan
anaknya sehingga Samsul Bahri harus kembali ke Jakarta dan Ia berjanji untuk
tidak kembali lagi kepada keluarganya di Padang. Datuk Maringgi juga tidak
tinggal diam karena Siti Nurbaya di usirnya.
Tak lama kemuadian Siti
Nurbaya meninggal dunia karena memakan lemang beracun yang sengaja diberikan
oleh kaki tangan Datuk Maringgih. Kematian Siti Nurbaya itu terdengar oleh
Samsul Bahri sehingga dia menjadi putus asa dan mencoba melakukan bunuh
diriakan tetapi mujurlah karena ia tak meninggal sejak saat itu samsul bahri
tidak meneruskan sekolahnya dan memasuki dinas militer.
Sepuluh Tahun kemudian
dikisahkan di Kota Padang sering terjadi huru-hara dan tindakan kejahatan akibat
ulah Datuk Maringgi dan orang-orangnya Samsul bahri yang telah berpangkat
Letnan dikirim un tuk melakukan pengamanan. Samsul Bahri yang mengubah namanya
menjadi Letnan Mas segera menyerbu kota padang. Ketika bertemu dengan Datuk
Maringgi dalam suatu keributan tanpa berpikir panjang lagi Samsul Bahri
menembaknya Datuk Maringgi jatuh tersungkur, Namun sebelum tewas Ia sempat
membacok kepala Samsul Bahri dengan parangnya.
Samsul Bahri alias Letnan
Mas Segera dilarikan kerumah sakit pada saat-saat terakhir menjelang ajalnya,
Ia meminta dipertemukan dengan Ayahandanya. Tetapi ajal lebih dulu merenggut
sebelum Samsul Bahri sempat bertemu dengan orang tuanya.
v Keunggulan Buku Ini (Siti Nurbaya)
Komposisi ceritanya layak diterima dan masuk akan dan tidak
membahas kawin paksa saja tetapi mengungkap secara objektif yaitu soal jemputan adat yang kuat dalam perdagangan dan
soal kehidupan.
v Kelemahan Buku Ini (Siti Nurbaya)
Pengarangnya terlalu mudah untuk membunuh
pelaku-pelaku di dalam cerita dan dialog satu pelaku terlalu panjang sehingga
pelaku yang lain diam tidak kebagian cerita. Hal yang seperti itu tidak mungkin
ada di kehidupan masyarakat. Hal-hal lain memberikan kesan pertentangan antara
kaum kolot yang masih mempertahankan adat dan kaum muda yang ingin merombak
adat.
Menurut Bakri Siregar, diksi dalam Sitti Nurbaya tidak mencerminkan gaya
bahasa Marah Rusli sendiri, melainkan bahasa Melayu dengan "gaya Balai
Pustaka", yang diwajibkan penerbit itu. Akibatnya, gaya Rusli yang
dipengaruhi sastra lisan itu, yang sering mengabaikan perkembangan alur untuk
menjelaskan sesuatu "menurut kesenangan dan selera hati [penulis]",
dianggap kurang.
v Bahasa yang digunakan :
Bahasa melayu yang fasih dan sesuai dengan zaman pada
waktu itu.
v Unsur Intrinsik yang menonjol dari novel tersebut.
1.
Penokohan (Watak Tokoh)
Sitti Nurbaya
Lemah lembut, penurut, anak yang berbakti.
Sitti Nurbaya adalah salah satu protagonis utama.
Menurut penulis cerpen dan kritikus sastra Indonesia Muhammad Balfas, Nurbaya merupakan tokoh yang
dapat mengambil keputusan sendiri, sebagaimana terwujud ketika dia memutuskan
untuk menikah Datuk Meringgih ketika Meringgih mengancam ayahnya, kesediaannya
untuk mendorong Samsul, dan pelariannya dari Meringgih setelah ayahnya
meninggal. Dia juga cukup mandiri untuk pergi ke Batavia sendiri untuk mencari
Samsul. Tindakannya dianggap melanggar adat,
dan ini akhirnya membuat dia diracuni. Kecantikannya, sehingga disebut
"bunga Padang", dianggap sebagai wujud fisik dari hatinya yang baik
dan beradab.
Samsul bahri
Samsul bahri adalah protagonis pria utama. Dia
dinyatakan sebagai orang yang berkulit kuning langsat, dengan mata sehitam tinta; namun, dari
jauh, dia dapat dikira orang Belanda. Sifat fisik ini dijelaskan oleh Keith
Foulcher, seorang dosen bahasa dan sastra Indonesia di Universitas Sydney,
sebagai wujud sifatnya yang suka menjadi seperti orang Belanda. Penampilannya
yang menarik juga dianggap sebagai wujud sifatnya yang baik dan beradab.
Datuk Meringgih
Egois, pendendam, iri dengki.
Datuk Meringgih adalah antagonis utama dari novel. Dia
seorang pedagang yang dibesarkan di keluarga yang miskin, lalu menjadi kaya
setelah masuk ke dunia kriminal. Balfas menyatakan bahwa dorongan utama
Meringgih dalam cerita ialah rasa iri dan keserakahan, sebab dia tidak dapat
"menerima bahwa ada yang lebih kaya daripada dia". Balfas beranggapan
bahwa Meringgih adalah tokoh yang "digambarkan dengan hitam dan putih,
tetapi mampu untuk menyebabkan konflik di sekitarnya". Menjelang akhir
novel, Meringgih menjadi "pejuang pasukan anti-kolonialis", didorong
oleh keserakahannya; menurut Foulcher, gerakan anti-kolonialis ini kemungkinan
besar bukanlah usaha untuk memasukkan komentar anti-Belanda.
Baginda Sulaiman.
Baginda Sulaiman : Penyanyang
Sultan Mahmud Syah
Sebagai pelaku tambahan (Toloh Protagonis), Ayahnya
Samsul Bahri yang berwatak: Bijaksana, sopan, ramah, adil, penyayang.
2.
Amanat
Pesan utama dari novel disampaikan dengan dialog
panjang antara tokoh-tokoh dengan dikotomi moral, untuk menunjukkan alternatif
dari pendirian penulis dan, dengan demikian, "menunjukkan alasan yang
jelas mengapa penulis itu benar". Namun, pandangan yang "benar"
(punya penulis) ditunjukkan dengan kedudukan sosial dan moral tokoh yang
mengajukan pandangan tersebut.
Cinta itu tidak dapat dipaksakan. Cinta itu
tidak dapat dikekang. Kita tidak bisa memelihara cinta dalam ruang yang
terbatas, karena hakikatnya cinta itu bebas.
• Demi orang-orang yang dicintainya seorang wanita bersedia mengorbankan
apa saja meskipun ia tahu pengorbanannya dapat merugikan dirinya sendiri.
Lebih-lebih pengorbanan tersebut demi orang tuanya.
• Bila asmara melanda jiwa seseorang maka luasnya samudra tak akan mampu
menghalangi jalannya cinta. Demikianlah cinta yang murni tak akan padam sampai
mati.
• Bagaimanapun juga praktek lintah darat merupakan sumber malapetaka bagi
kehidupan keluarga.
• Menjadi orang tua hendaknya lebih bijaksana, tidak memutuskan suatu persoalan
hanya untuk menutupi perasaan malu belaka sehingga mungkin berakibat penyesalan
yang tak terhingga.
• Dan kebenaran sesungguhnya di atas segala-galanya.
• Akhir dari segala kehidupan adalah mati, tetapi mati jangan dijadikan akhir
dari persoalan hidup.
3.
Tema
Sitti Nurbaya cenderung dianggap mempunyai tema anti-pernikahan paksa, atau menjelaskan
perselisihan antara nilai Timur dan Barat. Novel ini juga pernah dinyatakan sebagai suatu
"monumen perjuangan pemuda-pemudi yang berpikiran panjang" melawan
adat. Namun, menurut Balfas tidaklah adil apabila Sitti Nurbaya dianggap hanya sebuah cerita tentang kawin paksa,
sebab hubungan antara Nurbaya dan Samsul dapat diterima masyarakat. Dia
menegaskan bahwa novel ini merupakan perbandingan pandangan Barat dan
tradisional terhadap pernikahan, yang dilengkapi dengan kritik sistem mas kawin dan poligami.
4.
Alur : Maju
Cerita novel “Siti Nurbaya” ini ceritanya benar-benar dimulai dari
eksposisi, komplikasi, klimaks, dan berakhir dengan pemecahan masalah.
Pengarang menyajikan ceritanya secara terurut atau secara alamiah. Artinya
urutan waktu yang urut dari peristiwa A,B,C,D dan seterusnya.
5.
Latar( Setting)
Waktu : Pagi, Siang, Petang
Suasana : Sedih, Gembira, Tertekan
Tempat : Di kediaman Baginda Sulaiman,
di toko Baginda Sulaiman, kediaman Datuk
Maringgih, Di kediaman samsul Bahri, Di bawah pohon, dsb.
6.
Sudut Pandang.
Sudut pandang yag digunakan oleh pengarang movel “Siti Nurbaya” ini yaitu
sudut pandang diaan-mahatahu. Pengarang berada di luar cerita hanya menjadi
seorang pengamat yang maha tahu dan bahkan mampu berdialog langsung dengan
pembaca.
v Unsur
Ekstrinsik yang Menonjol
B. Unsur Ekstrinsik
1. Keadaan subjektivitas pengarang yang memiliki sikap, keyakinan, dan
pandangan hidup.
Keadaan Subjektivitas: pengarang berusaha melakukan inovasi baru, dengan
menggebrak Sastra Indonesia Modern dengan melncurkan novel ini dengan gaya
bahasa sendiri. Pandangan hidup penulis adalah pandangan hidup ke depan dan
penuh inovasi baru. Dan juga tak terpaut juga terkekang dengan adat istiadat
lama.
2. Psikologi pengarang (yang mencakup proses kreatifnya.
Psikologi pengarang: merasa terkekang dengan adat istiadat lama, dan
melakukan terobosan dengan mengarang buku novel, “Siti Nurbaya”.
3. Keadaan di lingkungan pengarang seperti ekonomi, politik, dan sosial.
Keadaan yang terjadi: masih terkekang dalam kehidupan adat istiadat yang
masih kuno, baik dari segi ekonomi, politik dan sosialnya. Lalu pengarang
berusaha membuat terobosan baru dengan karyanya.
4. Pandangan hidup suatu bangsa dan berbagai karya seni yang lainnya.
Pandangan yang terjadi: pada saat itu pandangan karya seni cenderung
monoton, dan gaya bahsanya hanya itu saja, jadi Marah Rusli membuat gebrakan
dengan memunculkan gaya bahasa Melayu.
v Kesimpulan
Dari gambaran novel Siti Nurbaya yang secara rinci
telah memberikan sebuah pengalaman yang sangat penting terhadap kehidupan
sosial, karena kisah tersebut menggambarkan nilai-nilai, baik nilai sosial,
nilai kebudayaan , nilai agama maupun nilai pendidikan. Sebagaimana telah kita
ketahui tentang sikap-sikap yang telah dilakukan oleh para tokoh, ada
sikap-sikap yang perlu kita contoh seperti samsul bahri dan sikap yang tidak
perlu dicontoh adalah Datuk Maringgih yang selalu meresahkan orang lain.
Berkali-kali buku Siti Nurbaya dibaca, berkali-kalin
pula ditemukan keindahan yang berbeda, berkali-kali ditemukan misteri yang tak
sama . Novel ini menggambarkan tentang cinta yang indah. Tentang patriotisme.
Dan perjuangan nilai-nilai kemanusiaan yang ada pada setiap zaman, secara
garis besar novel ini menggambarkan sebuah percintaan yang tidak sampai pada tujuan , walaupun begitu kesetiaan tetap ada